Apa Yang
Dimaksud Dengan Depresi
Depresi merupakan kondisi emosional yang
biasanya ditandai dengan kesedihan yang amat sangat, perasaan tidak berarti dan
bersalah (menarik diri, tidak dapat tidur, kehilangan selera, minat dalam
aktivitas sehari-hari), dalam Gerald C. Davison 2004. Menurut Rice PL (1992),
depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai
seluruh proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang. Pada umumnya
mood yang secara dominan muncul adalah perasaan tidak berdaya dan kehilangan
harapan.
Menurut Iyus Yosep (2007), depresi
adalah salah satu bentuk gangguan jiwa pada alam perasaan (afektif, mood) yang
ditandai kemurungan, kesedihan, kelesuan, kehilangan gairah hidup, tidak ada
semangat, dan merasa tidak berdaya, perasaan bersalah atau berdosa, tidak
berguna dan putus asa. Chaplin (2002) mendefinisikan depresi pada dua keadaan,
yaitu pada orang normal dan pada kasus patologis. Pada orang normal, depresi
merupakan keadaan kemurungan (kesedihan, kepatahan semangat) yang ditandai
dengan perasaan tidak pas, menurunnya kegiatan, dan pesimisme menghadapi masa
yang akan datang . Sedangkan pada kasus patologis, depresi merupakan
ketidakmauan ekstrim untuk mereaksi terhadap perangsang, disertai menurunnya
nilai diri, delusi ketidakpasan, tidak mampu dan putus asa.
Sedangkan menurut Kartono (2002),
depresi adalah kemuraman hati (kepedihan, kesenduan, keburaman perasaan) yang
patologis sifatnya. Biasanya timbul oleh; rasa inferior, sakit hati yang dalam,
penyalahan diri sendiri dan trauma psikis. Jika depresi itu psikotis sifatnya,
maka disebut melankholi.
Berdasarkan beberapa definisi di atas,
dapat disimpulkan bahwa depresi merupakan gangguan emosional atau suasana hati
yang buruk yang ditandai dengan kesedihan yang berkepanjangan, putus harapan,
perasaan bersalah dan tidak berarti. Sehingga seluruh proses mental (berpikir,
berperasaan dan berperilaku) tersebut dapat mempengaruhi motivasi untuk
beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari maupun pada hubungan interpersonal.
Perbedaan kesedihan normal dan depresi
Normal
Ø Sedih/kesal
namun masih dapat bercerita dengan orang lain
Ø Kembali
ceria
Ø Tidak
berlarut-larut dalam kesedihannya
Ø Tidak
lebih dari 2 minggu
|
Depresi
Ø Sedih/kesal
Ø Perubahan
nafsu makan
Ø Perasaan
tidak mampu mengatasi
Ø Tidak
harapan masa depan
Ø Sulit
bangun atau tidur
Ø Terbebani
dengan perasaan bersalah
Ø Ada
ide bunuh diri
Ø Gangguan
kegiatan sehari-hari
Ø Disertai
dengan kecemasan
Ø Berlangsung
2 minggu atau lebih
Ø Tidak
mau bercerita mengenai kesedihannya
|
Tanda dan Gejala
Depresi
Gejala Utama
1.
Perasaan tertekan
2.
Kurang minat
Gejala Tambahan
1.
Kurang konsentrasi
2. Menurunnya
kepercayaan diri dan harga diri
3. Gangguan
tidur
4. Perubahan
nafsu makan atau berat badan
5. Perasaan
bersalah/tidak berharga
6. Agitasi/perlambatan
7. Pesimis/keputusasaan
8.
Ide/tindakan bunuh diri
Sepanjang hari,
setiap hari selama 2 minggu atau lebih
Gejala Klinis
lain yang mungkin berhubungan dengan depresi
1.
Lelah sepanjang waktu
2.
Mudah tersinggung
3.
Libido menurun
4.
Gejala medis yang tidak
dapat dijelaskan
5.
Depresi terkait dengan
penyakit fisik
6.
Sering ditemukan pada
operasi
Depresi ringan :
ü Ada
2 gejala inti + 2 gejala tambahan
ü Masih
dapat berfungsi walaupun ada beberapa kesulitan dalam aktifitas biasa
Dysthimia :
ü Depresi
ringan selama > 2 tahun
Depresi sedang :
ü 2
gejala utama + 3 atau 4 gejala tambahan
ü Cukup
sulit melanjutkan aktifitas pekerjaan normal dan sosial
Depresi berat :
ü Ada
2 gejala utama + 4 atau 5 gejala tambahan
ü Sangat
tertekan
ü Agitasi
ü Tidak
bisa melakukan aktifitas normal
Gejala Fisik
1. Gangguan
pola tidur; Sulit tidur (insomnia) atau tidur berlebihan (hipersomnia)
2. Menurunnya
tingkat aktivitas, misalnya kehilangan minat, kesenangan atas hobi atau
aktivitas yang sebelumnya disukai.
3. Sulit
makan atau makan berlebihan (bisa menjadi kurus atau kegemukan)
4. Gejala
penyakit fisik yang tidak hilang seperti sakit kepala, masalah pencernaan
(diare, sulit BAB dll), sakit lambung dan nyeri kronis
5. Terkadang
merasa berat di tangan dan kaki
6. Energi
lemah, kelelahan, menjadi lamban
7. Sulit
berkonsentrasi, mengingat, memutuskan
Gejala Psikis
1. Rasa
sedih, cemas, atau hampa yang terus – menerus.
2. Rasa
putus asa dan pesimis
3. Rasa
bersalah, tidak berharga, rasa terbebani dan tidak berdaya/tidak berguna
4. Tidak
tenang dan gampang tersinggung
5. Berpikir
ingin mati atau bunuh diri
6. Sensitive
7. Kehilangan
rasa percaya diri
Gejala Sosial
1.
Menurunnya aktivitas
dan minat sehari-hari (menarik diri, menyendiri, malas)
2.
Tidak ada motivasi
untuk melakukan apapun
3.
Hilangnya hasrat untuk
hidup dan keinginan untuk bunuh diri
Prevalensi Depresi Akibat Penyakit
Fisik (Lieh Mak, 1995)
· Artritis
: 25,3%
· Kanker : 30,3%
· Diabetes : 22,7%
· Penyakit
Jantung : 34,6%
· Hipertensi : 22,4%
· Penyakit
Paru Kronik : 30,9%
· Penyakit
Saraf : 37,5%
Gejala somatik pada pasien depresi
(Nakao, 2001)
Kelelahan 86% Nyeri
dada 27%
Insomnia 79% Gejala
seksual 23%
Mual 51% Nyeri
ekstremitas 20%
Dispnea 38% Pusing 19%
Palpitasi 38% Nyeri
perut 18%
Nyeri punggung 36% Tinitus 18%
Diare 29% Nyeri
sendi 16%
Nyeri kepala 28%
Kapan mencurigai depresi?
ü Gejala
yang banyak dan kabur (misal : Gastrointestinal, kardiovaskular, neurologis)
ü Kelelahan
atau gangguan tidur
ü Nyeri
kronik (misal : nyeri punggung, nyeri kepala)
ü Penyalahgunaan
zat (alkohol atau obat-obatan)
ü Dua
atau lebih penyakit kronik
ü Kehilangan
minat terhadap aktivitas seksual
ü Umur
lanjut
ü Obesitas
ü Kerabat
tingkat pertama dengan riwayat depresi
ü Lingkungan
rumah yang miskin
ü Kesulitan
keuangan
ü Perubahan
hidup yang besar
ü Kehamilan
atau pasca persalinan
ü Terisolasi
dari pergaulan sosial
Faktor Resiko Depresi
1. Faktor
Biologis
§ Genetik
§ Perubahan
neurotransmiter/neuroendokrin
§ Perubahan
struktural otak
§ Vaskular risk factors
§ Penyakit/kelemahan
fisik (kondisi medik kronik dan kondisi terminal)
2. Faktor
Psikologi
§ Tipe
kepribadian (dependen, perfeksionis, introvert)
§ Relasi
interpersonal (disharmoni keluarga)
Faktor Pencetus Depresi
§ Peristiwa
kehidupan
-
Berduka, perpisahan,
kehilangan orang dicintai
-
Kesulitan ekonomi
-
Perubahan situasi
(misal : pindah rumah)
§ Stress
kronis
-
Disfunsi kehidupan
berkeluarga
§ Penggunaan
obat-obat tertentu
-
Antihipertensi, pemblok
H2, kontrasepsi oral
-
Kortikosteroid,
antireumatik
Faktor Pelindung Depresi
§ Dukungan
Sosial
-
Kekerabatan
-
Kehidupan religius
§ Mekanisme
koping yang sehat
-
Mudah beradaptasi
dengan lingkungan
-
Kepribadian yang matur
(matang mengetahui cara mengatasi masalah)
-
Mengubah mindset dari
negatif ke positif (mempunyai prinsip setiap masalah merupakan tantangan yang
pasti ada jalan keluarnya)
§ Pola
hidup sehat
-
Gizi seimbang (buah
pisang diyakini dapat mengurangi depresi)
-
Olahraga teratur
(olahraga minimal 1 jam dapat mengurangi depresi)
Depresi pada remaja
Mengapa remaja mengalami depresi?
Kehidupan sosial, seperti hubungan keluarga, pertemanan, percintaan atau
persoalan akademis di sekolah tidak jarang membuat remaja merasa tertekan.
Bahkan, hal tersebut dapat menjadi sumber stres ringan remaja –yang jika
dibiarkan dapat berlangsung lama dan menyebabkan terjadinya depresi. Beberapa faktor
yang dapat menjadi penyebab depresi pada remaja di antaranya adalah:
- Faktor genetik
- Perubahan hormon
- Faktor biologis, depresi karena faktor biologis terjadi jika neurotransmitter yang merupakan bahan kimia otak alami terganggu
- Trauma yang terjadi saat masa kanak-kanak, seperti pelecehan fisik atau emosional, kehilangan orangtua
- Kebiasaan berfikir negative
- Berasal dari keluarga disharmonis
Gejala yang sering
tampak pada remaja yang depresi adalah :
1.
Perilaku antisosial
2.
Prestasi di sekolah menurun
3.
Menarik diri dari pergaulan atau aktivitas
sosial
4.
Berat badan bertambah atau menurun dengan
drastis
5.
Penyalahgunaan zat
6.
Agresi
7.
Agitasi atau iritabilitas
8.
Sulit tidur atau bangun
9.
Sering lelah
10. Putus asa
11. Tidak mempunyai
cita-cita dan harapan
Yang harus dilakukan orangtua untuk membantu
remaja yang depresi
- Pelajari tentang depresi. Langkah pertama adalah dengan mempelajari depresi agar membantu Anda mengetahui tentang tanda atau gejala, pengobatan, dan perawatan anak yang mengalami depresi.
- Perhatikan tanda atau peringatan. Setelah Anda mengetahui tentang gejala depresi, Anda harus lebih peka terhadap apa yang anak Anda tunjukkan kepada Anda –baik perasaan dan perilakunya. Mengetahui tanda depresi lebih awal dapat mengurangi risiko terjadinya depresi yang lebih buruk.
- Komunikasi dengan anak. Ketika Anda melihat anak Anda memiliki tanda-tanda depresi, cobalah ajak anak Anda berkomunikasi untuk mengetahui apa yang anak Anda sedang rasakan dan fikirkan. Hal tersebut membuat anak Anda merasa tidak sendirian dalam mengalami masa-masa sulit.
- Bantu anak Anda melewati masa-masa sulit. Ketika anak Anda mengalami depresi, anak Anda akan mengalami beberapa gejala yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, Anda harus membantu anak Anda melewati masa-masa sulit, salah satunya dengan membantu anak Anda berperilaku hidup sehat –yang dapat mengurangi depresi.
- Ikuti pengobatan dan perawatan dengan teratur. Anda juga harus memastikan anak Anda mengikuti pengobatan dan perawatan dari dokter –termasuk memastikan anak Anda minum obat yang dianjurkan oleh dokter.
Cara mencegah depresi pada remaja
Beberapa cara yang dapat dilakukan remaja untuk mencegah depresi adalah
sebagai berikut:
- Jaga hubungan pertemanan. Hubungan pertemanan yang positif dapat membuat remaja percaya diri dan membantunya tetap terhubung dengan lingkungannya.
- Tetap aktif. Kegiatan sekolah atau pekerjaan atau berolahraga dapat membuat Anda fokus pada hal-hal positif –sehingga menghindari Anda fokus pada hal-hal yang negatif.
- Berfikir positif. Dengan berfikir positif, ramaja akan terhindar dari pikiran negatif yang akan membuatnya sedih atau kecewa.
Depresi Pasca
Persalinan
Hal ini dialami oleh
sekitar 10% perempuan pasca melahirkan. Berlangsung beberapa minggu pasca
melahirkan hingga beberapa bulan atau 1 tahun. Hal ini beresiko terhadap ibu
dan bayi, termasuk memiliki dampak jangka panjang dalam tumbuh kembang anak.
Apa Saja Tanda dan Gejalanya?
Gejala-gejala yang
ditemukan pada depresi pasca persalinan serupa dengan gejala gangguan depresi
pada umumnya namun berkaitan dengan fungsi, peran, dan tanggung jawab sebagai
ibu, terutama dalam merawat atau mengurus bayi. Gejala-gejala
tersebut yaitu seperti adanya perasaan sedih, mudah marah, dan ingin marah
saja, gelisah, hilangnya minat dan semangat yang nyata dalam aktivitas
sehari-hari yang sebelumnya disukai, enggan dan malas mengurus anaknya, sulit
tidur atau justru terlalu banyak tidur, nafsu makan menurun atau sebaliknya
meningkat hingga mengalami penurunan atau pertambahan berat badan yang
bermakna, merasa lelah atau kehilangan energi, kemampuan berpikir dan
konsentrasinya menurun, merasa bersalah, merasa tidak berguna hingga putus asa
dan mempunyai ide-ide kematian yang berulang (berupa ingin bunuh diri atau
bahkan ingin membunuh bayinya).
Tanda dan gejala tersebut dapat muncul bersamaan sekaligus atau hanya
sebagian saja. Yang jelas, karena mengalami tanda dan gejala tersebut, seorang
ibu akan mengalami perasaan tertekan sehingga sulit atau tidak dapat
menjalankan fungsi dan aktivitasnya sehari-hari. Oleh karena itu, ibu yang
mengalami kondisi ini harus segera ditolong, agar tidak terjadi kondisi yang
membahayakan dirinya atau bayinya.
Apa Penyebabnya?
Penyebab yang pasti hingga kini belum diketahui dan masih dalam penelitian
para ahli. Namun demikian, terdapat beberapa faktor risiko yang diperkirakan
mempengaruhi terjadinya depresi pasca persalinan, antara lain :
1. Rendahnya atau ketidakpastian dukungan suami dan keluarga.
2. Keadaan atau
kualitas bayi. Masalah pada bayi tersebut antara lain adanya komplikasi
kelahiran (misalnya perdarahan yang terlalu banyak atau ibu mengalami infeksi,
bayi yang lahir dengan jenis kelamin yang tidak diharapkan, atau lahir dengan
cacat bawaan).
3. Tidak siapnya seorang ibu dalam menyambut kehadiran bayinya (kehamilan
yang tidak diharapkan).
4. Adanya stressor (pemicu stress) bagi seorang ibu, baik yang berkaitan
dengan kehidupan sosial maupun kejiwaannya.
5. Terdapatnya riwayat depresi sebelumnya atau masalah emosional lainnya
pada seorang ibu.
6. Perubahan produksi hormon (progesteron, estrogen, prolaktin, dan
kortisol) pada masa nifas.
7. Keengganan ibu yang melahirkan untuk mengungkapkan perasaan sedihnya,
karena menganggap rasa sedih setelah melahirkan akan hilang dengan sendirinya.
Faktor-faktor risiko ini perlu ditelusuri untuk membantu proses penyembuhan
dan mengantisipasi kondisi berulangnya depresi setelah persalinan bayi
berikutnya.
Adakah Dampaknya Terhadap Anak Yang Dilahirkan?
Pada ibu yang mengalami depresi pasca persalinan, minat dan ketertarikan
terhadap bayinya menjadi berkurang. Ibu sering tidak berespon positif
(menyambut dengan hangat komunikasi yang dilakukan oleh bayinya, baik melalui
suara tangis, tatapan mata, ataupun gerak tubuh) sehingga bayi akan berusaha
lebih keras untuk menarik perhatian ibunya. Misalnya pada saat merasa bingung,
bayi memerlukan kenyamanan atau penentraman, maka biasanya ia akan menangis.
Bila ibu juga bingung atau marah atau sedih, maka bayi akan menangis dengan
suara lebih keras atau mungkin disertai gerakan tubuh tertentu agar ibunya bisa
menolongnya. Namun, ibu yang sedang depresi tidak mampu mengenali kebutuhan
bayinya sehingga tidak dapat berespon seperti yang diharapkan dan dibutuhkan.
Ibu yang depresi juga tidak mampu merawat bayinya secara optimal, karena
merasa tidak berdaya atau tidak mampu sehingga akan menghindar dari tanggung
jawabnya. Akibatnya, kondisi kebersihan dan kesehatan bayinya pun menjadi tidak
optimal. Ibu juga tidak bersemangat menyusui bayinya sehingga pertumbuhan dan
perkembangan bayinya tidak seperti bayi-bayi yang ibunya tidak mengalami
depresi.
Akibat lain depresi pasca persalinan yaitu hubungan ibu dan bayi juga tidak
optimal sehingga di kemudian hari kepribadian anak menjadi kurang matang.
Anak-anak tersebut memiliki ciri-ciri, antara lain bertemperamen negatif (mudah
tersinggung, mudah marah, kurang bisa bertoleransi dengan orang lain), kurang
bisa beradaptasi, intelegensi dan prestasi akademik tidak optimal, sulit
bekerjasama dengan teman sebaya, kurang fokus dan konsentrasi sehingga
mengganggu kegiatan belajar, bahkan dimungkinkan juga akan memiliki perilaku
yang menyimpang (suka menentang, membolos, bahkan mencuri).
Dapatkah Diobati?
Depresi pasca persalinan insyaallah dapat diatasi dan diobati bila tanda
dan gejalanya dikenali, baik oleh ibu yang mengalami atau orang-orang terdekat.
Sebaliknya, bila dibiarkan berlarut-larut dan tanpa upaya pengobatan akan
berakibat buruk bagi ibu, bayi, dan anggota keluarga lainnya. Pemberian obat
bukan merupakan prioritas utama, bahkan sedapat mungkin dihindari oleh dokter
mengingat ibu masih menyusui bayinya. Obat hanya diberikan pada kondisi yang
sangat mendesak misalnya ibu sangat gelisah atau pada kondisi yang mengancam
keselamatan diri ibu dan bayinya. Pada kondisi seperti ini biasanya ibu
dianjurkan untuk dirawat secara intensif sampai kondisinya tenang dan stabil.
Program pengobatan dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1. Pengobatan
terhadap ibu
a. Latihan
relaksasi, bisa dengan rekreasi, melakukan kegiatan yang disenangi, dan
lain-lain.
b. Restrukturisasi
kognitif, yaitu dengan menentang perilaku dan pikiran negative yang muncul.
c. Pemecahan
masalah, yaitu pemberian alternatif pemecahan masalah yang sedang dihadapi ibu.
d. Komunikasi, yaitu
melatih kemampuan ibu untuk mengutarakan perasaannya kepada orang orang
terdekat.
e. Menghibur ibu
dengan berbagai cara, seperti dengan memberi perhatian dan hadiah yang disukai,
memasakkan makanan kesukaan, menceritakan hal-hal yang menyenangkan, dan
lain-lain.
f. Bila gejala berat
baru diberikan obat anti depresi.
2. Pengobatan
terhadap hubungan ibu dan bayinya
a. Menganjurkan ibu
untuk merawat bayinya sesering mungkin.
b. Menyediakan
tempat yang nyaman bagi ibu dan bayinya.
c. Mengajarkan ibu
untuk melakukan kontak fisik dengan bayinya seperti menyentuh, mencium,
memeluk, dan memijat bayinya dengan lembut.
d. Melibatkan
anggota keluarga yang lain dalam merawat bayi (seperti suami, nenek, dan
lainnya).
e. Mengajak ibu dan bayinya untuk sesekali menghirup udara di luar rumah, karena udara segar bisa memperbaiki perasaan ibu dan bayinya.
e. Mengajak ibu dan bayinya untuk sesekali menghirup udara di luar rumah, karena udara segar bisa memperbaiki perasaan ibu dan bayinya.
f. Menyarankan ibu
yang sedang muncul perasaan negatifnya (marah, lelah, frustasi, kesepian) untuk
meninggalkan bayinya sejenak bersama orang lain. Setelah tenang dan
stabil, ibu bisa menemui bayinya kembali.
Kenali dan Hindari
Depresi pasca persalinan dapat dicegah apabila para calon ibu, suami, dan
keluarga mengetahui faktor-faktor risikonya. Bila ada salah satu dari faktor
risiko tersebut, diharapkan para calon ibu dapat menghindarinya, atau bila
tidak dapat dihindari sebaiknya segera mencari pertolongan profesional (dokter,
psikiater) agar pencegahan dapat dilakukan sedini mungkin. Dengan demikian,
diharapkan setiap ibu yang baru saja melahirkan mampu berfungsi optimal dalam
merawat, mengasuh, dan mendidik anaknya hingga menjadi seseorang dengan jiwa dan
kepribadian yang sehat.
Sudah seharusnya setiap orang memahami betapa
anak yang diamanahkan Tuhan pada dirinya harus dirawat dengan
baik. Oleh karena itu, selain upaya-upaya yang telah disebutkan di atas,
hendaknya setiap calon ibu membekali diri dengan ilmu agama dan ilmu yang
mendukung perannya dalam mengasuh dan mendidik anak.
Depresi pada Lansia
Depresi pada lansia 1-2% gejala
dibawah ambang kriteria depresi sampai 20%, depresi pada lansia yang ada di RS
atau institusi lain sampai 40%
Gejala kurang jelas
v Keluhan tidur
v Nafsu makan menurun
v Berat badan menurun
v Apatis, energi
v Penarikan diri
v Resiko penurunan
fungsi fisik meningkat
Sumber Utama
terjadinya Depresi pada Lansia
STRESOR PENCETUS
Stuart dan Sundeen (1998), menyatakan ada empat sumber utama yang dapat
mencetuskan gangguan alam depresi yaitu :
- Kehilangan keterikatan
Kehilangan nyata atau yang dibayangkan, termasuk kehilangan cinta
seseorang, fungsi fisik, kedudukan atau harga diri.
2.
Peristiwa besar dalam kehidupan
Kegagalan dalam memyelesaikan masalah, kegagalan dalam upaya yang keras
sehingga menimbulkan ketidak berdayaan, menyalahkan diri sendiri, keputusasaan,
dan rasa tidak berharga.
3.
Peran dan ketegangan peran
Sering ditemukan adanya ketegangan peran dimana peran tidak sesuai ataupun
ketidak mampuan melaksanakan peran dapat menjadi stressor pencetus depresi.
4.
Perubahan fisiologik
Diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit fisik kronik yang
melemahkan tubuh seperti infeksi, neoplasma, gangguan keseimbangan metabolik,
dan HIV/AIDS.
Faktor resiko depresi
Menurut Amir N
(2005), faktor resiko depresi adalah jenis kelamin (wanita lebih cepat depresi
dibandingkan laki-laki), usia rata-rata awitan antara 20-40 tahun), status
perkawinan terutama individu yang bercerai atau berpisah, geografis (penduduk
dikota lebih sering depresi daripada penduduk di desa), riwayat keluarga yang
menderita gangguan depresi (kemungkinan lebih sering terjadi depresi),
kepribadian : mudah cemas, hipersensitif, dan lebih tergantung orang lain,
dukungan sosial yaitu seseorang yang tidak terintegrasi ke dalam masyarakat,
stresor sosial : peristiwa-peristiwa baik akut maupun kronik, tidak bekerja
terutama individu yang tidak mempunyai pekerjaan atau menganggur.
Depkes RI (2001)
menyatakan ada beberapa keadaan yang beresiko menimbulkan depresi yaitu
kehilangan/meninggal orang (objek) yang dicintai, sikap psimistik, kecendrungan
berasumsi negatif terhadap suatu pengalaman yang mengecewakan, kehilangan
integritas pribadi, berpenyakit degeneratif kronik, tanpa dukungan sosial yang
kuat.
Gambaran klinis depresi pada usia lanjut.
Mengenali depresi pada usia lanjut memerlukan suatu keterampilan dan
pengalaman, karena manifestasi gejala-gejala depresi klasik (perasaan sedih,
kurang semangat, hilangnya minat/hobi atau menurunya aktivitas) sering tidak
muncul. Sangat tidak mudah untuk membedakan sekuele gejala psikologik akibat
penyakit fisik dari gangguan depresi atau gejala somatik depresi dari efek
sistemik penyakit fisik. Keduanya bisa saja terjadi pada seorang individu usia
lanjut pada saat yang sama. Usia lanjut yang mengalami depresi bisa saja
mengeluhkan mood yang menurun, namun kebanyakan menyangkal adanya mood
depresi, yang sering terlihat adalah gejala hilangnya tenaga/energi, hilangnya
rasa senang, tidak bisa tidur, atau kehilangan rasa sakit/nyeri (Depkes RI,
2001).
Menurut Brodaty, 1991 dalam Depkes RI (2001), gejala yang sering muncul
adalah anxietas atau kecemasan, preokupasi gejala fisik, perlambatan motorik,
kelelahan, mencela diri sendiri, pikiran bunuh diri, dan insomnia. Sedangkan
gejala depersonalisasi, rasa bersalah, minat seksual menurun agak jarang.
Sebagai petunjuk kearah depresi perlu diperhatikan tanda-tanda berikut (Depkes
RI, 2001) : rasa lelah yang terus menerus bahkan juga sewaktu beristirahat,
kehilangan kesenangan yang biasanya dapat ia nikmati (tidak merasa senang lagi
jika dikunjungi oleh cucu-cucunya), dan mulai menarik diri dari kegiatan dan
interaksi sosial.
Gambaran klinis
depresi pada usia lanjut dibandingkan dengan pasien yang lebih muda berbeda,
usia lanjut cenderung meminimalkan atau menyangkal mood depresinya dan
lebih banyak menonjolkan gejala somatiknya, disamping mengeluh tentang gangguan
memori, juga pada umumnya kurang mau mencari bantuan psikiater karena kurang
dapat menerima penjelasan yang bersifat psikologis untuk gangguan depresi yang
mereka alami.
DAFTAR PUSTAKA
Fauziah, (2017) Seminar
Kenali Depresi Sejak Dini 2017. Penerbit Fakultas Keperawatan Universitas
Indonesia. Jakarta
Nihayati, Hanik E., 2015, Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa,
Jakarta, Salemba Medika
Videback, Sheila L., 2008, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, Jakarta, EGC
Terima Kasih sudah membaca postingan saya, diharapkan komentar untuk perbaikan kedepannya ;)
~Selamat Membaca~
Pribadi yang Cerdas adalah Orang yang Selalu Membaca, Banyak Ingin Tahu, dan Bermanfaat untuk Orang Banyak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar